Connect with us

SUARA PEMBACA

Pecat Menaker !

Published

on

Jarrakpos.com. Judul tulisan ini tuntutan para buruh. Pecat Menaker dipintakan kepada Presiden Jokowi. Aksi buruh menggugat Permenaker 2/2022. Cabut aturan Tata Cara & Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) itu. Bila tidak sesegera, Cabut Ida Fauziyah dari jabatan Menaker. Seru!

Bagai memecah “kesunyian” masa pandemi. Spasi “paceklik” yang belum ada tanda-tanda menepi. Beban ekonomi yang mencekik di hampir semua lini kehidupan. Tak kecuali kaum pekerja. Alih-alih “menghibur” duka lara. Malah dihardik kebijakan yang memupus harapan. Mengabaikan momentum. Cenderung salah kaprah.

Dalam sikon menjaga “survive”, barisan pekerja bak dipaksa unjuk rasa. Menyentak bayang pilu, ketika JHT baru bisa cair pada usia 56 tahun. Selintas kebijakan berpengharapan. Bekal “tabungan” hari tua atau masa pensiun. JHT jangan dicairkan pada saat berhenti kerja (PHK -pen). Justru, di sinilah masalahnya. Bagaimana mungkin, menyusul “resign” — JHT harus menunggu hingga usia pensiun?! Bisa jadi perkara, “dokter datang, pasien mati”.

Konon, adanya kekosongan regulasi Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Lantas, momentum untuk memberlakukan aturan perlindungan masa pensiun. Terbitlah Kemenaker 2/2022 itu. Diundangkan 04 Februari 2022, setelah penetapan dua hari sebelumnya. Selanjutnya diberlakukan mulai 04 Mei 2022 (spasi tiga bulan).

Advertisement

Pertimbangan momentum, justru sangat tidak tepat. Tak seirama “mengatasi masalah tanpa masalah” (meminjam slogan Pegadaian -pen). Malah ditengarai, karena ketidakcukupan dana JHT. Muncul pula dugaan, digunakan untuk membiayai program lain. Tak ada hubungannya dengan JHT.

Tak kurang dari Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal mendesak DPR dan BPK. Diminta memeriksa menyelidiki. Dana JHT milik buruh hendaknya dikelola secara transparan. Konon sekira Rp 550 Triliun tak jelas rimbanya. Daripadanya, 70% untuk JHT atau setara Rp 350 Triliun. Jumlah sangat fantastis.

*Bukan Dana Pemerintah*

Menaker Ida Fauziyah tak unjuk berpihak pada kaum pekerja. Sering melukai hati para buruh. Sejumlah kebijakan, cenderung lebih pro penguasa. Belum setahun didera PP 36/2021 tentang Pengupahan, kembali “dikerjain” dengan Permenaker 2022. Bagai “jatuh tertimpa tangga”.

Advertisement

Bukan cuma tak pas momentum. Substansi pun memicu masalah. Pemberlakuan JHT hanya untuk usia pensiun, meninggal dunia dan cacat total tetap. Bagaimana mungkin, semisal seseorang “resign” pada usia 40 — harus menunggu 16 tahun untuk pencairan JHT. Masa rentang usia anak SMA. Logikanya, ya pada saat sudah dalam posisi tak kerja — berhak menerima JHT itu.

Argumen apa pun tak memadai untuk menunda dan menunggu. Apalagi, JHT bukanlah dana pemerintah. Murni milik para pekerja lewat mekanisme pemotongan gaji. Sejumlah tertentu setiap bulan, diakumulasikan masa kerja. Dana itu dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.

Kaum pekerja kadung menilai Ida Fauziyah sebagai “menteri terburuk” dalam sejarah republik. Waduh! Barangkali, itulah sisi minus model kabinet akomodasi. Tak jelas juntrungannya, mendadak diangkat menteri. Minus lainnya terkait kapabelitas. Betapa pun didukung tim ahli sesuai tupoksi, latar keahlian menjadi keniscayaan. Dimaknai sebagai “jabatan politik” semata. Seorang menteri, sejatinya sebagai “etalase” pemerintahan. Etalase yang pada gilirannya menjadi harapan sesuai bidang garapan. Tak cukup pendekatan “learning by doing”. Mana tahan..!

 

Advertisement

 

Penulis: Wartawan Senior di Bandung
Editor : Kurnia