Connect with us

SUARA PEMBACA

*Kamuflase..!*

Published

on

Belakangan ini banyak orang tampak suka berkamuflase. Cenderung klise. Sedekat untuk tujuan baik, kamuflase dianggap wajar. Mungkin pula lumrah. Tapi bila sebaliknya, ya bisa jungkir balik. Mengalahkan pemahaman umumnya.

Kamuflase dapat diartikan sebagai perubahan sikap yang berbeda. Berharap tidak dikenali, tidak tampak dari yang sebenarnya. Setidaknya serupa tindakan pengelabuan.

Contoh mutahir adalah insiden di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Meski termasuk Kecamatan Bener, kadung ditangani secara tak “bener”. Kamuflase pun terjadi.

Seolah kegiatan pengukuran tanah warga berlangsung adem ayem. Tak ada masalah. Faktanya bermasalah. Bila minim sengkarut, tentu tak perlu pengerahan aparat. Apalagi tampak berlebihan.

Advertisement

Gambaran suasana “mencekam”, malah ditandai pernyataan Menko Polkam, Mahfud MD. “Tidak ada apa-apa. Tidak pula ada kekerasan,” tegasnya.

Bila “tidak ada apa-apa”, rasanya tak perlu ada pernyataan setingkat menko. Meski berwewenang bicara, pernyataan cukup dari aparat daerah setempat.

Ada kapolda, ada gubernur, ada kapolres, ada bupati. Yang pasti, ada pengerahan pengamanan kepolisian dan terjadinya insiden.

Tak ada “kekerasan”?! Dalam arti fisik, mungkin ya. Bukankah ada 64 orang warga dipaksa menginap di Polres Purworejo.

Advertisement

Itu artinya telah terjadi kekerasan psikis. Kapolda Jateng, Irjen Ahmad Lutfi berdalih tidak ada penangkapan — tidak ada penahanan.

Dalam pernyataannya, Kapolda menyebut kata “ditangkap”. Klaimnya, “64 orang yang ditangkap pihak kepolisian akan dipulangkan hari ini (Kamis, 10 Februari 2022 -pen).

” Lantas disambut pernyataan gubernur Ganjar Pranowo. Boleh jadi, berkamuflase juga. “Mereka ada yang bermain bilyar, yang lainnya pada ngobrol,” katanya. Semua warga yang diamankan sudah dipulangkan esok harinya.

Serupa itu narasi pihak pemerintah. Seolah sebatas klarifikasi atas tatapan perhatian terhadap insiden Wadas. Tayangan gambar dan video sudah mampu bercerita. Tak perlu narasi dan pretensi.

Advertisement

Lantas bertubi komentar menyesalkan. Tak terhindarkan kritik pedas terhadap pemerintah lewat aparat kepolisian.

Pengerahan aparat yang dinilai melanggar prinsip pemolisian yang demokratis dan kaidah negara hukum serta penghormatan hak asasi manusia (HAM). Begitu kata Usman Hamid dari Amnesty Internasional Indonesia.

Atas nama rencana pembangunan strategis nasional, perlu strategi presisi. Tak seharusnya berulang, penanganan yang memicu “social cost” lanjutan. Menyeret pilu warga terdampak. Menenggelamkan hak akan jaminan kesejahteraan. Menorehkan pada bayangan “kepahitan” di kemudian hari. Dalam banyak hal, insiden Wadas harus menjadikan mawas. Tak cukup permohonan maaf gubernur. Perlu evaluasi dan pemberlakuan sanksi. Tak kecuali, langkah persuasif dan manusiawi. Bukan kamuflase.

 

Advertisement

 

Sumber : Imam Wahyudi
Editor : Kurnia