Connect with us

NEWS

Jangan Jadi Macan Ompong Aparat Penegak Hukum Diminta Tindak Tegas Kawasan Muntig Siokan Tidak Pernah Masuk PAD Denpasar

Published

on

Denpasar, JARRAKPOS.com – Salah satu pengunjung di area kawasan Muntig Siokan tersebut merasa gerah. Pasalnya, Ia mengaku ketika masuk ke lokasi langsung ditanya mau ke mana? Ketika dijawab mau jalan-jalan saja langsung ditodong untuk membayar karcis masuk. Karena takut adanya pungutan liar (Pungli) ia mengaku langsung meminta kertas karcis masuk ketika membayar Rp10 ribu. “Karena takut Pungli saya minta karcisnya,” katanya, seraya mengaku ke sana hanya untuk bersepeda. Namun ia bertanya-tanya, karena dari awal sudah diminta karcis masuk, padahal tidak masuk ke Taman Inspirasi Bukit Siokan. Karena itu, dia merasa geram ketika membaca berita dan media sosial (Medsos) bahwa selama ini kawasan tersebut belum berijin. “Kalau ini tidak Pungli tolong aparat penegak hukum di Bali, khususnya Denpasar jangan jadi macan ompong. Tolong segera ditindak karena ini sudah lama sekali. Kasian masyarakat,” sentilnya seraya meminta dengan tegas untuk menyamarkan identitasnya.

Secara terpisah, Anggota Fraksi Partai Demokrat DPRD Kota Denpasar, Anak Agung Susruta Ngurah Putra meminta aparat penegak hukum segera melakukan tindakan terhadap dugaan pelaranggaran yang terjadi di Kawasan Muntig Siokan. Kawasan itu dimanfaatkan sebagai destinasi wisata, walaupun belum mendapatkan ijin, namun tidak ada aksi demo penolakan. Meksipun Pemkot Denpasar secara resmi mengantongi rekomendasi dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) RI mengenai penguasaan dan pemilikan atas tanah timbul di Muntig Siokan Desa Sanur Kauh dan Desa Sidakarya sesuai surat Rekomendasi Kementerian ATR/BPN Nomor 113/500/XI/2019. Sedangkan Pemkot Denpasar melalui Wakil Walikota IGN Jaya Negara menyerahkan sertifikat tanah timbul di Muntig Siokan secara resmi kepada Desa Sanur Kauh dan Desa Sidakarya, Kamis (13/2/2020) di Dream Island Pantai Mertasari Sanur, Denpasar.

Walaupun sudah diserahkan kepada desa, seharusnya aset tersebut bisa ikut berkontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Denpasar. Hal itu disampaikan pasca Kawasan Muntig Siokan mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan dan publik. Termasuk gencarnya aksi Demo Tolak Reklamasi dan LNG Sidakarya. “Apabila ada pelanggaran- pelanggaran, tegakkan aturan sesuai payung hukum yang ada,” kata Agung Susruta di Denpasar, Jumat (8/7/2022). Sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Bangunan Gedung, Perda Nomor 8 tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Denpasar tahun 2021-2041.

Begitu juga dalam Perda Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029, Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai. Termasuk Undang- Undang (UU) Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang telah diubah ke UU Nomor 1 tahun 2014. Untuk itu, peneggakan hukum yang sudah agar ditegakkan dengan baik dalam mencegah kerusakan lingkungan maupun kebocoran PAD Kota Denpasar. Ia mengakui, aktivitas kawasan itu yang dikelola oleh Desa Adat belum ada PAD masuk ke Kota Denpasar. “Pengelolaan boleh saja dilakukan oleh Desa Adat, tapi harus ada PAD yang masuk,” imbuhnya. Agung Susruta juga menyayangkan Pemda Kota Denpasar belum memiliki payung hukum Perda terkait Pengelolaan Kawasan Wisata.

Advertisement

“Katanya sudah siapkan Perwali. Tapi Perwali tidak bisa digunakan sebagai payung hukum melakukan pungutan,” tegasnya. Dengan hal tersebut, Pemkot Denpasar sejatinya banyak kehilangan potensi PAD, akibat lamban memberikan respon. Maka dari itu, pihaknya segera mendesak pembuatan Perda Pengelolaan Desa Wisata maupun melakukan penertiban agar ada efek jera. Diketahui sebelumnya, “Inilah Realita Kondisi Fakta Lapangan Terkait Demo Tolak Reklamasi & LNG Sidakarya,” itulah satu satu cuitan Netizen di sosial media Facebook (FB) yang sepertinya merasa geram dengan ulah para oknum dibalik layar yang disinyalir terus menggerakan massa untuk kepentingannya. Bahkan, dia menuding reklamasi di kawasan Muntig Siokan, Sanur dimanfaatkan untuk destinasi wisata, walaupun belum mendapatkan ijin namun tidak ada aksi demo penolakan. Selain itu, pembabatan hutan mangrove Tahura untuk pembangunan Embung Sanur, juga tanpa penolakan, karena dianggap akan memberi manfaat penanganan banjir dan destinasi wisata baru walau proses perijinan diduga belum selesai.

“Pelabuhan Sanur walau ada pengerukan dan reklamasi yang mungkin ada terumbu karang rusak, juga tanpa demo jalanan tolak,” sentil akun FB yang diberi nama Jro Ngurah Lingsir itu pada Kamis (7/7/2022). Disebutkan pelanggaran sempadan pantai yang sangat jelas itu, namun DPRD Denpasar sebagai wakil rakyatnya turun ke lapangan mengatakan 80 persen sempadan pantai dilanggar akhirnya bungkam juga. “Mengapa bungkam? Apakah karena ada sesuatu udang di belakang meja? Masyarakat Denpasar cerdas pasti akan waras, menolak kok pilih-pilih? Demo Tolak LNG Sidakarya lucu dan panggung sandiwara. Pencitraan mencari panggung politik menjelang pemilu. Rocky Gerung berucap dungu, semoga bukan dungu,” sentilnya. Menelisik respon Netizen tersebut, sejumlah awak media mendatangi langsung lokasi reklamasi Pantai Mertasari, maupun Taman Inspirasi Muntig Siokan dan Embung Sanur yang masih nampak sibuk mengejar realisasi proyek siang dan malam.

Sebelumnya, Pemkot Denpasar secara resmi mengantongi rekomendasi dari Kementrian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) RI mengenai penguasaan dan pemilikan atas tanah timbul di Muntig Siokan Desa Sanur Kauh dan Desa Sidakarya. Rekomendasi atas tanah tersebut tertuang dalam Surat Rekomendasi Kementrian ATR/BPN Nomor 113/500/XI/2019 tentang Rekomendasi Penguasaan dan Pemilikan Tanah Negara (Tanah Timbul) di Muntig Siokan, Desa Sanur Kauh dan Desa Sidakarya Kota Denpasar yang diserahkan Kepala Kanwil BPN Provinsi Bali, Rudi Rubijaya bersama Kepala Kantor Pertanahan Kota Denpasar, Sudarman Harjasaputra yang diterima Wakil Walikota Denpasar, IGN Jaya Negara di Kantor Pertanahan Kota Denpasar, Jumat (29/11/2019).

Pemerintah Daerah hanya dapat diberikan hak atas tanah timbul yang luasnya lebih dari 100 meter persegi atau 1 are. Di mana, hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 17 Tahun 2016 Pasal 16. Penguasaan atas tanah tersebut wajib mengantongi rekomendasi dari Kementrian ATR/BPN. Adapun rekomendasi tersebut juga tertuang tiga persyaratan. Yakni penggunaan dan pemanfaatanya sesuai dengan arahan dalam Perda RDTR Kota Denpasar, yaitu untuk kegiatan kemasyarakatan dan ritual keagamaan dengan sebagian fungsinya tetap sebagai ruang terbuka hijau. Kedua adalah memperhatikan kelestarian lingkungan dan pemberdayaan masyarakat lokal, serta memenuhi persyaratan lainya sesuai ketentuan perundangan yang berlaku.

Advertisement

Adapun kawasan Muntig Siokan yang berlokasi di perbatasan antara Desa Sanur Kauh dan Desa Sidakarya ini sedianya merupakan kawasan suci. Faktanya di lapangannya setelah membayar tiket masuk terlihat beberapa kios atau warung mini makanan dan minuman berjejer di sekitar muntig. Setelah beberapa jam di lokasi tersebut, tak satupun wisatawan asing yang muncul dan tidak ada turis yang berenang di kawasan itu. Kemungkinan besar karena lokasi tersebut dipakai pelabuhan tradisional yang digunakan sebagai tempat menambatkan kapal berbagai ukuran baik besar dan kecil yang diduga juga tanpa izin memenuhi kawasan pantai di sekitar Muntig Siokan. Lucunya tersiar kabar bahwa ada biaya parkir per titik kapal yang dipungut di kawasan pelabuhan tradisional yang belum tertata tersebut. “Terus biar buat yang parkir di teluk itu harus bayar. bayarnya kemana?,” ungkap salah satu sumber yang menolak namanya disebutkan.

Uniknya lagi, juga ada jetty kapal sepanjang sekitar beberapa ratus meter menuju lepas pantai nampak jelas menjadi pemandangan destinasi wisata baru di Muntig Siokan. Usut punya usut Jetty ini juga disinyalir dibangun tanpa izin, namun tidak pernah terjadi penolakan atau aksi demo dari warga setempat. Kuat dugaan itu, berdasarkan keluarnya sertifikat lahan baru bisa terbit sekitar tahun 2020 setelah lama jetty itu dibangun.”Betul.Itu punya Ramly, Wake Park itu. Dan akses jalannya juga nggak ada. Karena tanah akses jalan ke sana akan disertifikasi oleh BWS (Badan Wilayah Sungai Kemen PUPR, red),” sentil sumber itu lagi, seraya meminta agar Kejari Denpasar segera turun untuk menindak tegas oknum dari Desa Adat Intaran yang diduga mengijinkan itu terbangun tanpa ijin.

Saat dikonfirmasi kebenaran itu, Kadis Perhubungan Kota Denpasar, I Ketut Sriawan langsung membantahnya. “Sudah itu semua di KSOP Benoa selaku Syabandar. Makanya kita sedang menata Sanpras SOP pemberdayaan masyarakat. Tiba-tiba datang LNG yang studi kelayakannya belum pernah saya tahu, eh datang disign itu,” katanya. Di sisi lain, ketika diklarifikasi baik Perbekel maupun Bendesa Adat Intaran memilih bungkam dan belum mau berkomentar. Ketika dihubungi awak media pesan dikirim tidak direspon atau dijawab sampai berita ini diturunkan. Namun fakta kebenaran lain diungkap oleh Kadis Perhubungan Provinsi Bali, I GW Samsi Gunarta kepada awak media menyebutkan secara operasional status pelabuhan di wilayah tersebut hanya sebagai pengumpan lokal. Berbeda dengan penataan Pelabuhan Sanur yang saat ini dibangun sudah lengkap mengantongi izin.

“Secara operasional iya, status pelabuhan-pelabuhan di wilayah itu adalah pengumpan lokal, kecuali Pelabuhan Sanur yang sekarang dibangun. Semua terminalnya (termasuk Jetty di Muntig Siokan, red) masih belum punya status yang tercatat di kita,” terang Samsi sapaan akrabnya. Sebelumnya diketahui, pada Selasa, 5 Juli 2022 Desa Adat Intaran kembali melakukan aksi terkait rencana pembangunan Terminal LNG yang dibawa-bawa di Kawasan Mangrove dan bukan menyebut di daerah Desa Sidakarya, Denpasar. Tak tanggung-Tanggung menggerakan 7 Banjar Adat yang berada di pesisir Desa Adat Intaran mendirikan Baliho penolakan terhadap rencana pembangunan Terminal LNG. Aksi yang menurunkan sejumlah warga masing-masing banjad itu, menjadi tanda tanya besar bagi serorang pemerhati energi bersih yang juga salah satu tokoh masyarakat Denpasar yang menolak menyebutkan namanya, saat menghubungi langsung pada Selasa malam (5/6/2022).

Advertisement

“Banjarnya (Desa Adat Interan, red) kan gak semua mau ikut. Kenapa hanya 7 banjar? 19 banjar total di Intaran,” sentilnya, seraya merasa aneh aksi menolak tersebut, karena tanpa menyebutkan posisi pasti Terminal LNG yang ditolak. Bahkan yang, lebih aneh lagi, salah satu tuntutannya malah mendesak Terminal LNG tetap dibangun, namun terus ngotot agar Terminal LNG dibangun oleh Pelindo di bekas reklamasi Damping II yang awalnya juga lahan mangrove di sekitar kawasan Pelabuhan Benoa. “Memang lucu aksi tolaknya. 7 banjar dari 19 banjar di Desa Adat Intaran. Iya…..ada udang di balik batu,” tandasnya. Seperti diungkapkan oleh I Made Sudha selaku Kelian Banjar Adat Betngandang menjelaskan jika pendirian Baliho ini merupakan lanjutan dari aksi-aksi sebelumnya yang dimana aksi pemasangan di 7 banjar adat, meliputi Banjar Batu Jimbar, Semawang, Sindhu Kaja, Sindhu Kelod, Betngandang, Blanjong, dan Tanjung, merupakan simbol kebulatan tekad untuk menolak pembangunan Terminal LNG di Kawasan Mangrove.

“Permintaan kami amatlah sederhana, jangan membangun Terminal LNG di kawasan Mangrove” tungkasnya. Lebih lanjut menanggapi statemen DPRD yang menyebutkan jika akan mengkaji lokasi proyek pembangunan Terminal LNG Made Sudha juga menuturkan jika dari riset yang sebelumnya telah dipaparkan oleh KELAL Bali, Ftontier Bali dan WALHI Bali pada hearing di DPRD 21 Juni 2022 lalu, jelas disampaikan bahwa Tapak proyek Terminal LNG di kawasan Mangrove ada pada kawasan mangrove yang vegetasinya padat dan rapat, serta pada tapak proyek juga terdapat Mangrove yang tingginya 5 meter hingga 10 meter yang dimana butuh waktu puluhan tahun untuk merawat mangrove setinggi itu.

“Kajian apa lagi? semestinya lakukan saja pembangunan Terminal LNG di Benoa, sesuai yang termuat dalam Perda RTRW Bali no 3 tahun 2020” ucapnya. Diketahui sebenarnya, proyek Terminal Gas Alam Cair (LNG) kini menjadi peluang emas di Bali. Apalagi proyek yang awalnya akan dibangun di Pelabuhan Benoa untuk dikelola oleh PT Pelindo Energi Logistik (PT PEL) sudah banyak menarik bagi investor karena opseternya yang sudah pasti, namun secara resmi dipindahkan ke wilayah Desa Sidakarya, Denpasar, karena pemerintah pusat dan daerah ingin mempercepat pemanfaatan gas dengan membangun infrastruktur terminal gas alam cair (liquefied natural gas/LNG). Di sisi lain, porsi pemanfaatan gas bumi pada tahun 2020 saja sudah tercatat 19,5 persen dan ditargetkan akan meningkat menjadi 22 persen pada tahun 2025.

Sejalan dengan target tersebut, PT. PLN (Persero) selaku perusahaan BUMN melalui anak usahanya PT. PLN Gas dan Geothermal (PLN GG) dengan struktur kepemilikan saham 51 persen dengan menggandeng mitra strategis dengan 49 persen saham Perusahaan Daerah (Perusda) milik Pemerintah Provinsi Bali, yaitu PT. Dewata Energy Bersih (DEB) sudah menandatangani nota kesepahaman tentang studi kelayakan kajian pengembangan Terminal LNG untuk menjamin sebesar-besarnya kepentingan rakyat Bali. Langkah ini merupakan bagian dari transformasi PLN, serta sejalan dengan arah kebijakan energi dan ketenagalistrikan Pemerintah Provinsi Bali yang terus mendorong penggunaan energi bersih dan ramah lingkungan yang juga sesuai dengan visi dan misi pemerintah di daerah.

Advertisement

Melalui proyek sumber energi ramah lingkungan tersebut, Pemprov Bali dan Pemkot Denpasar yang sebelumnya hanya bisa menjadi penonton, malah bisa menangkap peluang emas untuk menambah pundi pemasukan pendapatan daerah. Jadi kenapa harus ditolak? Karena dari hitungan kasar saja, kerjasama tersebut berpotensi bisa memberi pemasukan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan income sekitar Rp30 miliar perbulan. Salah satu sumber pendapatan daerah tersebut dari pengembangan infrastruktur LNG Terminal Bali yang ditargetkan beroperasi untuk memasok gas ke Pembangkit Listrik Tenaga Diesel dan Gas (PLTDG) Pesanggaran pada awal 2023. Untuk pemenuhan bahan bakar pembangkit listrik gas di Pesanggaran akan memanfaatkan LNG yang saat ini PLN telah memiliki kontrak jangka panjang dengan produsen LNG, BP Tangguh.

Mirisnya, bisnis Terminal Gas Alam Cair (LNG) sebenarnya selama ini sudah dilakukan oleh PT. Pelindo Energi Logistik yang kabarnya mendapat omset mencapai Rp30 miliar sebulan tanpa adanya setoran untuk PAD, baik ke Pemprov Bali maupun Pemkot Denpasar. Berdasarkan hal itu, Terminal LNG ini akan menjadi yang pertama di kawasan Asia Tenggara yang bekerjasama dengan pemerintah daerah atau Pemprov Bali yang berinisiatif melalui PT. PLN (Persero) untuk membangun energi bersih. Sebagai pelaksanaannya ditunjuk Perusda Bali dan anak perusahaan PT. PLN (Persero), yakni PT. PLN GG untuk membangun Terminal LNG di Desa Sidakarya agar dari bisnis tersebut bisa sebesar-besarnya digunakan untuk kepentingan rakyat di Bali, sekaligus menambah sumber pemasukan PAD baru untuk Bali dan Kota Denpasar.

Terobosan pemerintah daerah ini, juga untuk menjawab tantangan utama dalam penyediaan pasokan gas alam akibat terbatasnya ketersediaan infrastruktur gas, khususnya terminal LNG termasuk transportasi LNG serta pendukung lainnya. Selain mengoptimalkan PLTDG Pesanggaran berkapasitas 200 megawatt (MW), PLN juga akan merelokasi pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) serta pembangkit gas dan uap (PLTGU) ke Pesanggaran dengan kapasitas 300 MW. Bahkan yang paling menarik, karena memang akan digunakan untuk mensuplai gas bagi kebutuhan pasokan listrik ke Bali dan juga daerah Nusa Tenggara. Selain itu juga ke beberapa lokasi khususnya untuk pembangkit listrik untuk menjadikan Bali mandiri energi dengan energi bersih dan ramah lingkungan.

Hebatnya lagi, Terminal LNG ini akan menjadi yang pertama di kawasan Asia Tenggara, sehingga dengan dibangunnya terminal LNG ini, maka wilayah yang sangat membutuhkan listrik khususnya di Indonesia Timur tidak perlu lagi kesulitan dalam mendapatkan gas untuk menghidupkan pembangkit listrik. Proyek terminal LNG tersebut sejalan dengan pemerintah dalam pemenuhan energi bersih nasional guna mencapai net zero emission pada 2060. Di samping itu, project LNG ini untuk membangun ekosistem kuat dalam menjadikan Bali, bahkan Indonesia sebagai negara yang mandiri dan berdaulat. Jadi relokasi Terminal LNG di kawasan Sidakarya ini merupakan upaya untuk mewujudkan ketahanan energi nasional, utamanya dalam memenuhi kebutuhan listrik di Bali dan Indonesia wilayah timur, termasuk untuk ketahanan pariwisata Bali di masa mendatang.

Advertisement

Sarana dan fasilitas Terminal LNG akan segera berdiri di Bali, juga sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional. Penataan dan pengoperasian Terminal LNG nantinya juga merupakan upaya konkret dalam menjaga dan meningkatkan tren positif sektor pariwisata di Pulau Dewata. Di sisi lain, Bali juga merupakan pusat wisata nasional bersama BUMN akan menjadi bagian untuk menaikkan tingkat competitiveness Bali dan memastikan ekonomi di Bali tumbuh kembali pasca pandemi Covid-19. Penataan Terminal LNG akan berkontribusi besar bagi para pelaku UMKM dan terciptanya penambahan lapangan kerja baru yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Bali. Karena untuk mendukung pengembangan pariwisata, UMKM dan lapangan kerja ini diperlukan listrik, sehingga alasan inilah kenapa harus membangun fasilitas energi listrik, karena Bali masih memerlukan listrik, khususnya green energy.

Hal ini sesuai dengan program pemerintah yang memutuskan pada tahun 2030 Provinsi Bali akan menggunakan green energy. Oleh karenanya, harus terus membangun pembangkit listrik ramah lingkungan dengan dukungan Terminal LNG ini. Tujuan dibangunnya Terminal LNG ini adalah sebagai pintu gerbang penerimaan gas alam khususnya LNG di Pulau Bali. Salah satu alasan lain yang mendorong pembangunan terminal LNG di Sidakarya adalah turut mensukseskan program “Bali Green Province” yang diusung oleh Pemprov Bali sesuai dengan visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana menuju Bali Era Baru “Menjaga Kesucian dan Keharmonisan Alam Bali Beserta Isinya, Untuk Mewujudkan Kehidupan Krama Bali Yang Sejahtera dan Bahagia, Sakala-Niskala Menuju Kehidupan Krama dan Gumi Bali Sesuai Dengan Prinsip Trisakti Bung Karno: Berdaulat secara Politik, Berdikari Secara Ekonomi, dan Berkepribadian dalam Kebudayaan Melalui Pembangunan Secara Terpola, Menyeluruh, Terencana, Terarah, dan Terintegrasi Dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Nilai-Nilai Pancasila 1 Juni 1945.

Dalam program tersebut, Pemprov Bali mewajibkan penggunaan gas sebagai bahan bakar di seluruh hotel di kawasan Bali. Peralihan penggunaan BBM ke BBG selain menghemat biaya juga dapat menjaga kelestarian lingkungan, sesuai dengan Pergub Bali No.45 tahun 2019 tentang Bali Energi Bersih. Selain itu, juga ditandatangani PKS Pemprov Bali dengan PT PLN (Persero) No.075/31/PKS/B.Pem.Otda/VIII/2019 pada tanggal 21 Agustus 2019 tentang Penguatan Sistem Ketenagalistrikan dengan Pemanfaatan Energi Bersih di Provinsi Bali. Apalagi dalam RUPTL PLN tahun 2021-2030 diproyeksikan terjadi peningkatan beban listrik di Bali hingga 1.185 MW pada tahun 2023. Karena itu, Terminal LNG di Sidakarya ini sudah sangat mendesak dibangun, setelah dilaksanakan grounbreaking relokasi Pembangkit Tenaga Listrik Tenaga Gas (PLTG) Grati ke Pesanggaran, Denpasar pada Jumat, 18 Februari 2022. Gas alam terkenal paling aman dan tidak berbahaya untuk digunakan sebagai bahan bakar rendah karbon, bebas polusi, tidak ada hujan asam, tidak ada pencemaran merkuri, warnanya biru, emisi CO2 dipotong menjadi 50 persen, dan hanya sepersepuluh dari polutan udara batubara yang dibakar untuk pembangkit listrik.

Untung dari sisi lokasi Terminal LNG yang dirancang tersebut tidak ada satupun aturan yang dilanggar. Bahkan, Perda Kota Denpasar No.8 tahun 2021 tentang RTRW Kota Denpasar yang berlaku dari tahun 2021-2041 dalam Pasal 20 Ayat (2) menerangkan “Sistem Jaringan Energi, bahwa jaringan infrastruktur minyak dan gas bumi terletak di Kelurahan Pedungan dan Desa Sidakarya dan jaringan yang menyalurkan minyak dan gas bumi dari fasilitas produksi – tempat penyimpanan terletak di Kelurahan Pedungan, Kelurahan Sesetan dan Desa Sidakarya. Selain itu, dalam Peta Sebaran Ruang Terbuka Hijau, Potensi RTH Tahura (Perda Kota Denpasar No.8 tahun 2021) mengecualikan area lokasi kegiatan usaha dengan warna putih mengingat sebagai Blok Khusus Tahura Ngurah Rai. Apalagi disadari 80 persen kelistrikan berada di Bali selatan, namun akibat membengkaknya utang PT. PLN (Persero) pada tahun 2021 sebesar Rp631,6 triliun menyebabkan tidak lagi melakukan investasi jaringan listrik, sehingga diputuskan Terminal LNG ini berlokasi di Bali selatan, sehingga berdasarkan studi kelayakan (FS) terpilihlah Desa Sidakarya.

Advertisement

Oleh karena itu, infrastruktur minyak dan gas bumi Terminal LNG dan jalur pipa gas bersifat strategis dan tidak dapat terelakkan dibangun di Desa Sidakarya yang sudah sangat sesuai dengan RTRW Kota Denpasar. Terminal LNG di Desa Sidakarya dengan PKKRPL yang telah terbit, juga diupayakan agar dapat selaras dengan perencanaan RIP (Rencana Induk Pelabuhan) Desa Serangan sebagai pelabuhan pengumpan lokal (Kepmenhub No.KP432 tahun 2020) yang sedang disusun berdasarkan Pasal 73 Ayat (2) UU No.17 tahun 2008, memperhatikan RIPNAS, RTRWP Bali, RTRWK Denpasar, keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain terkait di lokasi pelabuhan, kelayakan teknis, ekonomis dan lingkungan, keamanan dari keselamatan lalu lintas kapal. Hal ini bertujuan agar dalam penyusunan RIP tidak terjadi overlapping.

Isu lainnya, berkaitan dengan eksistensi kesucian pura di sekitar infrastruktur minyak dan gas bumi Terminal LNG di Desa Sidakarya, juga akan tetap terjaga dengan baik. Terdapat 5 pura yang berjarak di radius 600 meter hingga 2.000 meter dari lokasi kegiatan usaha ini, yakni Pura Sukamerta, Pura Dalem Pengembak, Pura Luhur Dalem Mertasari, dan Pura Tirta Empul Mertasari yang merupakan Pura Kahyangan Desa, serta Pura Sakenan sebagai Pura Dang Kahyangan, namun dibatasi oleh lautan dan beda pulau di Desa Serangan. Jadi berdasarkan Bhisama Kesucian Pura di Bali yang dituangkan ke dalam penjelasan Pasal 67 Ayat (5) Huruf d Perda Kota Denpasar No.8 tahun 2021 tentang RTRW Kota Denpasar diterangkan, “Selanjutnya dalam penjelasan tersebut diuraikan bahwa mengingat hitungan luas radius Kesucian Pura di Bali bila dituangkan dalam peta meliputi luas di atas 35 persen dari luas wilayah Pulau Bali (berdasarkan luas radius 10 Pura Sad Kahyangan dari 252 Pura Dang Kahyangan) dan mengingat bahwa untuk mengakomodasi perkembangan pembangunan akan dibutuhkan lahan-lahan untuk pengembangan kawasan budidaya, maka dilakukan penerapan pengaturan tiga strata zonasi (utama/ inti, madya/ penyangga, dan nista/ pemanfaatan terbatas) dengan tetap memegang prinsip-prinsip Bhisama Kesucian Pura, dan memberi keluwesan pemanfaatan ruang semala tidak mengganggu nilai kesucian pura, terutama zona nista/ pemanfaatan terbatas yang diuraikan lebih lengkap pada arahan peraturan zonasi”.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka ketentuan Bhisama radius Kawasan Tempat Suci di Kota Denpasar tidak dapat diterapkan dengan tegas, karena pada kenyataannya lokasi Tempat Suci di Kota Denpasar sebagian besar adalah di tengah-tengah pemukiman, sehingga dibutuhkan kesepakatan penetapan radius kesucian dengan unsur-unsur pendukung tersebut. Karena itu, dapat disimpulkan kegiatan usaha penyaluran pasokan gas bumi ke Pesanggaran merupakan kegiatan pendukung fasilitas energi bersih yang sesuai dengan Pergub Bali tahun 2019 tentang Energi Bersih. Selain itu, komitmen dari pemrakarsa pembangunan Terminal LNG yang juga telah diamanatkan dengan RKKPRD, maupun RKKRPL yang telah diterbitkan, pelaku usaha wajib memperhatikan lingkungan sekitar, termasuk kawasan suci. Untuk itulah PT. Dewata Energi Bersih (DEB) siap turut serta menjaga kawasan suci sekitar lokasi kegiatan usaha Terminal LNG. aya/tim/dx

Advertisement
Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Warning: Undefined variable $user_ID in /home/jarrakpos/public_html/wp-content/themes/zox-news/comments.php on line 49

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply