Connect with us

SUARA PEMBACA

“Artaria Predator “

Published

on

Jarrakpos.com. Makin tampak sejatinya Artaria. Ya, Artaria Dahlan. Nyata, tak ada apa-apanya. Melunturkan sendiri kompetensi sebagai “wakil rakyat” di DPR RI. Nyata, akhirnya cuma itu yang dia bisa. Kali ini gagal bernarasi.

Tak kecuali mendistorsi parah lembaga dewan di Senayan. Utamanya komisi III yg membidangi penegakkan hukum. Betapa, tidak perkara yang tidak substansial — dibahas di ruang dewan yang terhormat. Jauh dari tupoksi (tugas pokok fungsi). Sebatas dalih “berkaitan” semata. Itu pun tak serta-merta “berkaitan”. Lebih tepat disebut “asbun”. Mendistorsi diri bab kompetensi. Unjuk arogansi. Bingung sendiri.

Cuma perkara bahasa Sunda. Kajati Jawa Barat menggunakannya sebagai bahasa pengantar dalam sebuah rapat kerja. Apa yang salah? Malah bagus. Justru menciptakan suasana cair, akrab dan familiar. Membuka sekat komunikasi yang lazimnya begitu formal. Bersamaan itu menginspirasi dan memotivasi untuk memelihara dan menumbuhkan “kearifan lokal”. Itu bagian dari komitmen nasional. Menumbuhkembangkan budaya lokal (daerah) sebagai satu kesatuan budaya nasional. Indonesia yang kaya akan bahasa sebagai budaya. Ahhh, tak usah dirinci lebih jauh. Artaria juga maklum. Seharusnya dia menjadi “terhukum”.

Tak cukup bertanya dan menduga-duga isi otak Artaria. Nyaris gagal makna. Dia tengah mempertontonkan kebenaran teori “terpeleset lidah”. Parah. Berulang memicu “pertengkaran”, akhirnya terjebak duri di tenggorokan. Selintas hanya satu kata : Sunda. Berimplikasi merebak tak terkendali. Kali ini, Artaria dibuat tuli tak mampu antisipasi.

Advertisement

Artaria tak sedang terpapar Omicron. Tapi prilakunya mirip virus Covid-19 varian baru itu. Lantas kehilangan makna sebagai legislator. Malah cenderung predator. Meminta kepada Kepala Kejaksaan Agung RI, Burhanuddin untuk mencopot sang Kajati Jawa Barat. Gila! Otak tumpuk masih dipakai juga. Terkesan unjuk “aku punya kuasa”.

Aparat dewan itu punya fungsi pengawasan. Berwenang meminta pencopotan jabatan di lembaga yang menjadi tupoksinya. Melulu dalam konteks kinerja dan indikasi pelanggaran aturan. Selain itu, boleh saja dilakukan — alih-alih mumpung “berkuasa”. Mungkin dengan cara berbisik. Artaria, tentu ingin formal — bernada frontal. Belum ada permintaan maaf kepada warga Sunda, utamanya di Jabar dan Banten. Mungkin Artaria sedang berfikir, permintaan maaf — belum tentu mengakhiri masalah. Masih bakal berbuntut dampak.*

 

 

Advertisement

Sumber : Imam Wahyudi
Editor : Kurnia

 

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Warning: Undefined variable $user_ID in /home/jarrakpos/public_html/wp-content/themes/zox-news/comments.php on line 49

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply