Connect with us

DAERAH

Prajuru Pura Buka-bukaan Terkait Desa Adat Medahan Ingin Ambil Paksa Pura Masceti

Published

on

Gianyar, JARRAKPOS.com – Adanya bantahan Bandesa Adat Medahan Wayan Putra Jaya bersama Angga Sabha Desa Adat Medahan Dewa Gede Suamba dengan mengklarifikasi bahwa Desa Adat Medahan tidak akan mengambil alih secara paksa Pura Masceti, melainkan ingin menata Pura Masceti. Menyikapi hal tersebut, Prajuru Pura Kahayangan Jagat Masceti buka-bukaan kronologis Pura Kahyangan Jagat Masceti pada Sabtu (7/5/2022).

Bidang Humas Prajuru Pura Kahyangan Jagat Pura Masceti, I Gusti Made Toya yang juga Pekaseh Subak Selukat, membeberkan Surat Desa Adat Medahan Nomor 40/DAM/XII/2021 Perihal Melaksanakan Piodalan, Pengelolaan Kawasan dan Bukti Pura Kahyangan Jagat Masceti tertanggal 15 Desember 2021 yang ditujukan ke Bupati Gianyar, ditembuskan kepada Kapolres Gianyar. Dandim Gianyar, MDA Kabupaten Gianyar, PHDI Kabupaten Gianyar, Kapolsek Blahbatuh, Danramil Blahbatuh, Camat Blahbatuh, MDA Kecamatan Blahbatuh dan PHDI Kecamatan Blahbatuh, yang merupakan bukti dan fakta atas keinginan dari Desa Adat Medahan ingin mengambil alih secara paksa dan merebut Pura Masceti dari Pasikian 20 Subak Pengempon, Pengemong dan Penyungsung Pura Kahayangan Jagat Masceti.

Dari surat tersebut terungkap keinginan yang sebenarnya dari desa Adat Medahan bahwa akan mengelola pelaksanaan upacara piodalan dan Upacara Ngusaba Tipat di Pura Kahyangan Jagat Masceti, hingga melaksanakan upacara nangiang/napak pertiwi Ida Bhatara Masceti pada setiap Sasih Kelima, yang selama ini secara dresta dan turun-temurun dilakukan oleh Pasikian Pekaseh 20 Subak sebagai Prajuru pura Kahyangan Jagat Masceti.

Selain itu, Desa Adat Medahan juga ingin mengelola parkir, uang kebersihan, dudukan dagang dan dana punia untuk pelaksanaan upacara keagamaan di kawasan Masceti bagi masyarakat dari luar desa Adat Medahan. “Berdasarkan isi dari surat tersebut, jelas keinginan dari Prajuru Desa Adat Medahan adalah mengambil alih secara paksa Pura Kahyangan Jagat Masceti, bukan ingin menata Pura sebagaimana pengakuannya kepada wartawan,” ujar Gusti Made Toya.

Advertisement

Pada kesempatan itu hadir Pekaseh Gede Pangemong Pura Masceti – Pura Selukat, yang juga Pekaseh Padang Legi, I Ketut Sugata, Pekaseh Subak Perajurit, I Gusti Made Kaler, Pekaseh Subak Gaga, Nyoman Atna, Pekaseh Subak Sengauk, I Gusti Putu Darma Jaya, Pekaseh Subak Amping, I Ketut Darma Alit, dan Pekeseh Subak Dewa, I Wayan Karmada.

Dikatakan pula, keinginan mengambil alih Pura Masceti juga dibuktikan dengan sejumlah kegiatan yang dilakukan Bandesa Adat dan Prajuru Adat Medahan diawal bulan Pebruari 2022, yaitu dengan melakukan sejumlah aktivitas perbaikan pemedal Pura Masceti yang tanpa melakukan kordinasi terlebih dahulu dengan pengempon Pura Masceti, dalam hal ini Prajuru Pura Masceti. Prajuru desa adat Medahan mengabaikan ketentuan Peraturan Gubernur Bali Nomor 25 Tahun 2020 tentang Fasilitasi Perlindungan Pura, Pretima dan Simbol Keagamaan, dimana setiap orang beragama Hindu dapat ikut serta dalam melakukan pemeliharaan Pura setelah mendapat persetujuan dari Pengempon Pura.

Keinginan menguasai dan mengambil alih Pura Masceti juga terungkap dalam lima kali mediasi antara Prajuru Desa Adat Medahan dengan Prajuru Desa Adat Keramas (yang mewakili Krama Subak dari Desa Adat Keramas) yang difasilitasi oleh Camat Blahbatuh, dan pihak kepolisian.

Sedangkan untuk pemungutan parkir, pedagang, dan pungutan bagi setiap umat yang melaksanakan kegiatan upacara di kawasan Pura Masceti, bahkan sudah dilakukan oleh pecalang desa adat Medahan sejak bulan Juli 2020, yang tanpa kordinasi dengan prajuru pura sebagai pengempon Pura Masceti. Padahal, bidang-bidang tanah yang ada di Kawasan Jaba Sisi/Nista Mandala Pura Masceti merupakan tanah padruwen/bukti pura yang telah bersertifikat atas nama Pura Masceti.

Advertisement

Kemudian, indikasi pengambil alihan secara paksa Pura Kahyangan Jagat Masceti kemudian mendapatkan penolakan dari tiga desa adat, yakni Desa Adat Keramas, Desa Adat Cucukan dan Desa Adat Tedung, melalui surat kesepakatan tiga Bandesa Adat tertanggal 31 Januari 2022. Karena, dresta yang ada di Pura Masceti, Pengempon Pura Masceti/Kahayangan Jagat Masceti selama ini dilaksanakan oleh Pasikian 20 Subak/cacakan carik yang ada di Desa Adat Keramas, Desa Adat Medahan, Desa Adat Cucukan dan Desa Adat Tedung.

Setelah itu, kini Bandesa Adat Medahan dan Prajuru Desa Adat Medahan malah berdalih ingin menata Pura Masceti karena ada di wewidangan Desa Adat Medahan, sesuai dengan Perda Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali. Dengan demikian, muncul pertanyaan, ketentuan mana dalam Perda Desa Adat yang memberikan kewenangan Desa Adat menata Pura yang bukan menjadi tanggungjawabnya? Kemudian, apakah Pura Masceti berstatus Pura Kahayangan Desa atau Pura Kahyangan Tiga?

Menurut Gusti Made Toya, keinginan Bandesa Adat dan prajuru desa adat Medahan menata Pura Masceti dan kawasannya yang bukan tanggungjawabnya justru melanggar dari ketentuan Perda Desa Adat. Sebagaimana fakta, dresta yang ada di Desa Adat Medahan, tanggungjawab sebagai Pengempon, Pengemong dan Penyungsung Pura Kahyangan Jagat Masceti adalah krama subak yang berasal dari Desa Adat Keramas, Desa Adat Medahan, Desa Adat Cucukan dan Desa Adat Tedung, keseluruhan berjumlah 20 Subak, dengan jumlah krama subak kurang lebih sebanyak 1.121 orang, sebagai berikut: (1) Sebanyak 11 subak dari Desa Adat Keramas, diantaranya : Subak Selukat, Subak Amping, Subak Abang, Subak Poh Gading, Subak Dukuh, Subak Sengauk, Subak Betuwas, Subak Dewa, Subak Gaga, Subak Dayang, dan Subak Diga.

(2) Sebanyak 7 subak dari Desa Adat Medahan diantaranya; Subak Masceti, Subak Celuk, Subak Abu, Subak Jurit, Subak Peling, Subak Panjan, dan Subak Nengan, (3) Sebanyak 1 Subak dari Desa adat Cucukan, yaitu Subak Padang legi, (4) Sebanyak 1 Subak dari Desa Adat Tedung, yaitu Subak Tedung. Bahkan, Pura Masceti/Kahyangan Jagat Masceti sebagai Pura amongan, emponan dan sungsungan subak diatur dalam Awig-Awig masing-masing Subak tersebut.

Advertisement

Sementara Pekaseh Subak Perajurit Gusti Made Kaler menambahkan, dalam Pasal 7 Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali dengan jelas menyebutkan bahwa parahyangan atau pura yang menjadi tanggungjawab desa adat adalah Pura Kahyangan Desa Adat/Kahyangan Tiga desa adat, dan diatur dalam awig-awig desa adat.

Sedangkan pada Pasal 7 ayat (4) juga disebutkan bahwa pura lainnya yang ada dalam wewidangan desa adat menjadi tanggungjawab Pangempon masing-masing sesuai dresta setempat. Dresta yang ada di masyarakat desa Adat Medahan, Pura Masceti selama ini pengemponnya adalah krama subak dari desa adat Keramas, Desa Adat Medahan, Desa Adat Tedung dan Desa Adat Cucukan.

Demikian pula dalam Pasal 25 ayat (2) Perda Desa adat yang berkenaan dengan pengelolaan berdasarkan kewenangan lokal berskala desa adat, juga dengan sangat tegas dan jelas menyebutkan bahwa pengelolaan pura dan kawasan pura hanya bisa dilakukan sepanjang hal itu menjadi kewenangan desa adat. Namun pengelolaan Pura Masceti dan kawasan Pura Masceti bukan merupakan kewenangan dari desa adat Medahan sebagaimana kewenangan lokal berskala desa adat yang dimaksud, jelasnya.

Dalam Purana Pura Masceti, termasuk Raja Purana Puri Keramas didalamnya juga disebutkan bahwa Desa Adat Medahan bukan pengempon dari Pura Masceti. Namun secara historis dan fakta yang ada sampai saat ini, tanggungjawab pengelolaan (pengempon) Pura Masceti dan pengelolaan kawasan Pura Masceti dilakukan oleh Krama Subak melalui pekaseh dan prajuru subak lainnya.

Advertisement

Berdasarkan aspek sosiologis, aspek historis dan aspek hukum, kewenangan untuk menata dan mengelola Pura Kahayangan Jagat Masceti, meski pura tersebut ada di wewidangan desa Adat Medahan, merupakan hak otonom penuh dari krama subak/cacakan carik dalam melaksanakan, imbuh Pekaseh Gede Pangemong Pura Masceti – Pura Selukat Ketut Sugata. Hal ini juga sudah pernah disampaikan oleh ketua MDA Kabupaten Gianyar Anak Agung Alit Asmara dalam mediasi di Pura Masceti, tanggal 14 Pebruari 2022, yang langsung dihadiri oleh Bandesa Adat Medahan, Perbekel Desa Medahan, Angga Sabha Desa Medahan.

Namun Angga Sabha, Dewa Gede Suamba ini selama mediasi berlangsung tidak pernah hadir, dan disayangkan malah tiba-tiba berstatemen di media seakan pengempon pura dalam hal ini Pekaseh/Krama Subak tidak mau menerima kehadiran desa adat Medahan di Pura Masceti. Bagi pihak pengempon pura, siapapun yang ingin ngayah di Pura Masceti tidak dilakukan pembatasan. “Sepanjang kordinasi dilakukan dengan baik, didasari dengan niat baik, maka siapapun yang datang dan ngayah di Pura Masceti tidak dilarang. Terlebih lagi masyarakat dari Desa Adat Medahan yang berkeingian untuk Ngayah di Pura Masceti, pihak Pakaseh sebagai prajuru Pura sangat terbuka,” jelasnya.

Kebersamaan dan suasana harmonisasi antara Prajuru Pura Maseti dengan Desa Adat Medahan, dan tiga desa adat lainnya, sebenarnya sudah berjalan dan terjadi dari dahulu. Bagaimana saat pelaksanaan karya di tahun 2004, krama subak dibantu oleh krama adat dari Desa Adat Keramas, Desa Adat Medahan, Desa Adat Cucukan, dan Desa Adat Tedung dalam pelaksanaan karya agung tersebut. Dan waktu itu, Puri Keramas sebagai Penganceng atau Pengrajeg Karya.

Namun semenjak kepemimpinan desa adat dan desa dinas Medahan saat ini, yang berorientasi pada sendiri pendapatan desa, ingin mengelola Pura Masceti dan mengambil alih Pura Masceti dan Kawasan Pura masceti dari pengempon pura dengan kedok menata wewidangan. Persoalan antara desa adat Medahan dengan pengempon Pura Maseti muncul bukan karena larangan pembuatan posko Covid-19 dikawasan jaba Pura Masceti tahun 2021. Melainkan, adanya kegiatan dari desa adat Medahan yang mengadakan sambungan ayam di wantilan Pura Masceti, dan pemungutan parkir, serta membuat asagan di jaba sisi Pura Masceti yang tanpa kordinasi dengan pihak Prajuru Pura Masceti.

Advertisement

Akhirnya pada Minggu, 11 Oktober 2020, Prajuru Desa Adat Medahan mengajak prajuru pura Masceti rapat mendengarkan laporan hasil pemungutan yang tanpa persetujuan dari pengempon pura. Hasil uang pungutan yang dilakukan di kawasan jaba sisi pura Masceti, yang dilakukan tanpa kordinasi dengan pihak pengempon Pura Masceti sejumlah Rp 10 juta masih disimpan di LPD. Rencananya, pihak Pura Masceti akan diberikan pembagian 20 persen dan 40 persen masing-masing untuk desa adat dan desa dinas Medahan.

“Usulan itu kami tidak terima. Jangankan 20 persen, 100 persen pun kami dikasi, kami tidak mau karena itu bukan hak dan kewenangan dari Desa Adat Medahan untuk membagikannya kepada kami selaku pemilik laba pura,” tegasnya.

Karena mendapatkan intervensi dari pihak prajuru desa adat Medahan, maka untuk pengelolaan parkir di wewidangan jaba sisi Pura Masceti yang merupakan laba Pura Masceti yang telah bersertifikat dilakukan kerja sama pengelolaan parkir dengan Pemkab Gianyar pada 22 Maret 2021. Namun hingga kini, pihak desa adat Medahan justru terus melarang pihak prajuru pura untuk melakukan pungutan parkir. Sedangkan pihak Bandesa Adat Medahan melalui Pecalang justru melakukan pungutan parkir, pungutan ke pedagang dan lainnya tanpa ijin.

Mirisnya, disaat krama subak melaksanakan upacara aci ngusaba dan aci kelecan di Pura Maseti pada tanggal 19-25 April 2022, pihak Pecalang atas perintah Bandesa Adat Medahan justru melakukan upaya-upaya menganggu kelancaran pelaksanaan keagamaan, khususnya dudukan parkir sebagai punia masyarakat yang datang ke Pura Masceti. Padahal, Bandesa Adat Medahan dalam susunan kepanitiaan Aci Ngusaba dan Aci Kelecan sebagai pelindung dan pengayom. “Kami tidak melanggar kesepakatan antara Prajuru Pura dengan Desa Adat Medahan sebagaimana dituduhkan angga Saba Dewa Suamba. Karena dalam tiga poin kesepakatan di Kantor Camat Blahbatuh antara prajuru pura dan desa adat Medahan tidak ada kesepakatan yang mengatur prajuru pura tidak melakukan dudukan parkir,” imbuh Nyoman Atna, dari Pekaseh Subak Gaga yang membidangi parkir di kawasan pura Masceti.

Advertisement

Secara terpisah Guru Besar di Fak. Pertanian Unud, dan Ketua Stispol Wira Bhakti Prof Wayan Windia mengatakan, berkait dengan hal-hal tersebut, maka sudah sejak awal pihaknya sarankan agar semua pihak agar bisa duduk bersama. Apalagi kasusnya berkait dengan pura. Katanya ada wacana, bahwa kita di Bali memiliki filsafat Paras-Paros, Tat Twan Asi, tri Hita Karana, dan lain-lain. Filsafat kuno itu, jangan hanya menjadi hiasan bibir. Harus diimplemantasikan.

Bila secara empirik pihak subak mampu mengelola kawasan pura dengan baik, kenapa tidak dilanjutkan saja, sesuai tradisi (kune dreste) ? Jangan diintervensi. Karena subak adalah lembaga yang otonum, yang batas-batasnya berbasis hidrologis. Ia memiliki juga parhyangan, pawongan dan palemahan. Sedangkan desa adat, batasnya berbasis administratif. Ia juga memiliki parhyangan, pawongan, dan palemahan.

Semuanya harus bisa berkoordinasi. Inilah yang disebut dalam ilmu sosiologi sebagai konsep polisentri. “Leluhur kita di Bali telah mengembangkan konsep polisentri dalam realitas sosialnya. Leluhur kita dahulu tidak ada yang tamatan SLTA (red : karena dulu tidak ada sekolah formal), kok beliau bisa bekerja dengan paras-paros. Barangkali kita harus lebih banyak merenung dan belajar dari kebajikan serta kebijakan Raja Udayana, Raja Marakata, dan Mpu Kuturan,” ungkapnya.

 

Advertisement

Selain purana puri Keramas, berdasarkan Dewa Purana Bangsul, Pura Masceti dibangun bersamaan dengan salah satu pura lainnya, yakni Pura Er Jeruk di Sukawati. Pura Er Jeruk adalah juga pura yang dikelola subak di kawasan Subak Gde Sukawati. Bahwa Pura Masceti mulai dibangun sejak kedatangan Rsi Markandya, dengan bangunan yang sederhana. Kemudian diperluas lagi pada saat kedatangan Mpu Kuturan di Bali. Bahkan ada indikasi bahwa pura ini sudah eksis sejak zaman pra-Hindu.

Disebutkan bahwa Pura Masceti dikategorikan dalam kelompok pura fungsional (swagina). Meski sebagai pura swagina, tetapi memang pura itu dalam status pura kahyangan jagat. Dalam hal ini tidak hanya jagat Desa Adat Medahan, tetapi juga jagat Gianyar, dan juga jagat Bali.

Bahwa pangemong Pura Masceti adalah seluruh warga Subak (Gde) Pakerisan Teben dan Subak (Gde) Gunung Sari. Terdiri dari 20 subak. Yakni : Subak Gaga, Subak Dayang, Subak Diga, Subak Dewa, Subak Amping, Subak Poh Gading, Subak Betuas, Subak Slukat, Subak Sengauk, Subak Abang, Subak Dukuh, Subak Tedung, Subak Nengan, Subak Abu, Subak Celuk, Subak Ceti, Subak Padang Legi, Subak Panjan, Subak Jurit, dan Subak Peling.

Organisasi subak-subak inilah yang mempunyai tugas, kewajiban, dan tanggung jawab dalam hal pengelolaan dan pemeliharaan Pura Masceti, atau sebagai pengemong Pura Masceti. Sedangkan warga Desa Medahan-Keramas yang tidak memiliki tanah sawah dan tidak berstatus sebagai anggota subak, hanya berstatus sebagai penyungsung. Sehingga bebas dari kewajiban membiayai dalam bentuk biaya pemeliharaan dan upacara piodalan.

Advertisement

​Disebutkan pula bahwa Pura Masceti adalah merupakan Parhyangan subak, persawahan adalah merupakan Palemahan subak, dan anggota subak adalah merupakan Pawongan subak. Bahwa Pura Masceti diberikan status sebagai Pura Subak. Hal ini sesuai dengan Perda No. 9 tahun 2012 tentang Subak. Jadi, Perda tentang subak terbit jauh lebih awal dibandingkan dengan Perda tentang Desa Adat. Bahkan pernah ada wacana untuk menjadikan Pura Masceti sebagai pura untuk semua subak di Kab. Gianyar. Hal ini wajar, karena pada saat-saat itu subak di Bali diakui oleh UNESCO sebagai warisan dunia. aya/tra

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Warning: Undefined variable $user_ID in /home/jarrakpos/public_html/wp-content/themes/zox-news/comments.php on line 49

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply