Connect with us

PARIWISATA

Bali Kehilangan “Mahkota”, Badung Mestinya Bersyukur dapat Insentif PHR

Published

on


Denpasar, JARRAKPOS.com – Destinasi pariwisata Bali bertambah anjlok di tengah tekanan pandemi Covid19 di sejumlah negara dan penghentian tak kurang 674 penerbangan internasional. Belum lagi Fodors travel.com yang merekomendasikan Bali sebagai destinasi yang tidak layak dikunjungi tahun 2020. Situasi ini harusnya segera disikapi super serius, kalau tidak mau Bali kehilangan “mahkota” sebagai destinasi dimana pariwisata sebagai generatornya. Pelaku dan Praktisi Pariwisata Bali, I Wayan Puspanegara, SP saat dihubungi, Minggu (1/3/2020), meminta segera dilakukan langkah introspeksi, evaluasi yang focus dan presisi terkait proyek pembangunan pariwisata Bali.

6bl-ik#10/2/2020

“Kita patut apresiasi pemerintah pusat yang berencana menghentikan pungutan PHR (Pajak Hotel dan Restoran,red) selama 6 bulan dan diganti dengan insentif Rp3,3 triliun. Hal ini langkah yang inovatif dari menteri keuangan yang harus disambut baik, karena dangan proyeksi kondisi tingkat hunian/ocupancy hanya 1 digit. Maka dipastikan PHR akan abnormal dan bisa jadi hanya di bawah Rp1 triliun. Oleh karena itu harusnya di Bali kita bersuyukur ada insentif dari pusat bukanya ditolak,” sentilnya, karena di Badung sejumlah kalangan menolak PHR dihentikan sementara, seraya meminta langkah strategis dalam melakukan perbaikan di semua sektor harus segera dilakukan untuk perkuatan destinasi yang berkelanjutan, yakni masalah sampah, lalu lintas, infrastruktur, penataan ruang, keamanan dan kenyamanan, service, dan promosi.

Dikatakan mantan Anggota DPRD Badung itu, sejauh ini dari konten video yang viral itu terlihat jelas memang ada benarnya, kemacetan, sampah, over tourism, tata ruang yang kacau, bentang alam persawahan semakin hilang, over developed, tiada infrastruktur pendukung apapun di kawasan yang berkembang seperti Canggu. “Semua ini kebenaran yang harus kita akui, pembangunan di Bali Selatan, Tanjung Benoa, Nusa Dua, Sawangan, Kutuh, Ungasan, Pecatu, Jimbaran, Kedonganan, Kuta, Legian, Tuban, Seminyak, Batu Belig, Umalas, Petitenget, Kerobokan, Tibubeneng, Canggu, Pipitan, Cemagi, Munggu hingga Seseh, lalu Ubud tidak terkontrol, tidak terkendali dan lost dari supervisi, monitoring dan evaluasi pemerintah,” beber Puspanegara yang juga tokoh masyarakat asal Legian, Kuta ini.

1bl-ik#5/2/2020

Akibatnya tata ruang semrawut dan kacau- balau, banyak bangunan tanpa memperhitungkan ruang terbuka hijau, tanpa parkir, tanpa metode pengelolaan sampah, banyak kawasan hijau yang memperkuat keasrian dan menyehatkan hilang. Semua ini karena lost control, tidak tegas, kurang komitmen, terlalu menganggap suatu masalah itu remeh, kemudian bangga, menepuk dada ketika disanjung. “Kita harus segera menghentikan model pembangunan yang tak terarah, tak memperkuat sistem pembangunan pariwisata berkelanjutan. Jika tidak ada komitmen, tidak ada good will dan tidak ada control, Bali dan khususnya Badung akan kehilangan mahkotanya,” tutupnya. tim/aka/ama