Connect with us

NEWS

Membuka Aksara di Dusun Pengemis

Published

on


Penulis : Ni Nyoman Ayu Suciartini

Denpasar, JARRAKPOS.com – Buta aksara zaman ini katanya adalah mereka yang buta teknologi dan bahasa Inggris. Mereka yang tidak menguasai kedua hal ini tentu tidak bisa mengikuti perkembangan zaman, hingga perlahan akan ditinggal oleh zaman itu sendiri. Lalu, bagaimana dengan mereka yang buta aksara sungguhan? Buta aksara yang memang tidak mengenal huruf, tidak bisa membaca dan menulis, apakah dunia secara serta merta tercerabut dari hidupnya? Apakah mereka yang buta aksara ini tidak lagi diperhitungkan? Sayang, buta aksara tidak pernah nihil meski sudah bertahun-tahun dilakukan penyuluhan, pelatihan, pemberdayaan. Selalu saja muncul data warga yang masih buta aksara. Namun, datanya kian berkurang dari tahun ke tahun. Kabar baik ini harus tetap dikabarkan agar Indonesia bisa secepatnya terbebas dari buta aksara dan mempersiapkan diri menjadi bangsa yang tingkat literasinya semakin membaik.

Di tengah puncak kemajuan teknologi digital yang membuka kemudahan berbagai akses informasi, ternyata masih terdapat 3,4 juta penduduk Indonesia yang masih buta aksara. Hal tersebut menjadi ironi mengingat buta aksara sama saja artinya tidak mampu mengakses informasi yang dibutuhkan di era digital. Buta aksara menutup berbagai peluang yang sudah di depan mata. Meskipun Indonesia sukses menuntaskan buta aksara hingga 97,93 persen dari total jumlah penduduk, namun angka buta aksara sebesar 2,07 persen atau setara 3,4 juta orang bukanlah jumlah yang sedikit di era digital. Di antara jumlah yang tercatat tersebut, ada jumlah yang cukup memprihatinkan bahwa yang masih buta aksara adalah mereka, kaum anak muda, umur belasan yang seharusnya sedang mengalami euphoria membaca. Entah membaca dunia senyatanya atau dunia maya dalam telepon genggamnya. Mereka yang muda, namun buta aksara ini harus segera diselamatkan. Mereka masih memiliki harapan untuk bisa melihat dunia yang jauh lebih baik, jauh lebih berdinamika daripada melulu mengurusi soal pernikahan dini, bekerja dini, hingga menjadi orang tua di saat usia yang masih sangat belia.

Yang muda ini harus dikenalkan pada huruf, kata, hingga kalimat. Mereka harus dipaksa untuk membaca sebagai kebutuhan. Kebutuhan untuk memasak, misalnya. Agar tahu berapa takaran garam, merica yang pas untuk semangkuk sup. Selama ini mereka merasa bahwa membaca dan mengenal aksara belum menjadi kebutuhan, sehingga mereka merasa tetap hidup. Untuk memahami dunia dalam konteks yang lebih luas, melulu menggunakan bahasa tubuh sepertinya tidak akan membuat seseorang bisa memahami arti hidup secara lebih mendalam. Melihat Bali yang hingar bingar dengan sanjungan,

Advertisement

Laman: 1 2 3 4

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Warning: Undefined variable $user_ID in /home/jarrakpos/public_html/wp-content/themes/zox-news/comments.php on line 49

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply