Connect with us

SUARA PEMBACA

“Mundur Manifestasi Tanggung Jawab”

Published

on

Jarrakpos.com. Tragedi kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan, Malang, sungguh memilukan. Mengguncang dunia sepakbola. Tak cuma Indonesia, menghentak jagat raya. Rasa duka cita mendalam.

Presiden FIFA, Gianni Infantino — bahkan menyebut Tragedi Kanjuruhan sebagai “Hari Kelam Sepakbola Dunia “. Kelam yang memaknai jatuh korban tewas mencapai 125 orang, termasuk dua aparat polisi serta 323 orang terluka ringan dan berat.

Mestinya Menpora memaklumkan pengibaran bendera setengah tiang. Masa berkabung sepekan, bersamaan stop (sementara) kompetisi Liga 1 Indonesia.

Tragedi kemanusiaan yang menggegerkan jagat sepakbola ini menjadi domain PSSI. Setidaknya secara administratif dan teknis kegiatan. Tentu, khalayak menanti pernyataan Ketum PSSI pada kesempatan pertama. Itu tak terjadi.

Advertisement

Dalam hal _leading sector_ kegiatan sepakbola dengan segala konsekuensinya adalah PSSI. Sebagai otoritas Liga 1 Indonesia, tentu PSSI yang pada gilirannya — berada di barisan depan dalam hal pertanggungjawaban.

Tragedi kemanusiaan di arena sepakbola, justru terjadi pada saat negeri ini tidak sedang baik-baik saja. Rangkaian peristiwa silih berganti. Bertubi. Tak cukup _Peristiwa Dure Tiga_ , berlanjut _Kaisar Sambo & Konsorsium 303_. Terakhir kabar PPATK mendeteksi aliran dana Rp 155 Triliun dari transaksi judi _online_ yang belum diungkap rinci ke publik. Bersamaan itu, gelombang aksi unjuk rasa menolak kenaikan harga BBM bersubsidi yang memicu lonjakan harga kebutuhan pokok. Rangkaian yang tak mudah dibaca saling mengait.

Tragedi Kanjuruhan sungguh mengejutkan, memilukan. Dalam sekejap, berita duka itu merebak ke mancanegara.

Betapa, kita pernah dikagetkan Tragedi Heysel. Tak kurang tragis, menelan korban jiwa 29 orang. Aksi _hooliganisme_ jelang final Liga Champions antara Liverpool vs Juventus, 29 Mei 1985. Dalam jumlah korban, tragedi di Stadion Heysel, Brussels itu tidak masuk “10 besar” dunia.

Advertisement

Sebaliknya, Tragedi Kanjuruhan — maaf, menyodok peringkat dua atau tiga dalam jumlah korban level dunia. Di bawah “rekor” Stadion Nasional Peru, saat laga timnas tuanrumah vs Argentina, 24 Mei 1964 dengan korban 328 orang. Menyusul di Stadion Accra, Ghana, 09 Mei 2001 (126 orang). Berikutnya di Sheffield, Inggris, 15 April 1989 yang telan 96 jiwa. Tragedi Heysel yang menghebohkan dunia pada 37 tahun silam itu ranking-14. Tercatat 21 tempat dalam daftar tragedi sepakbola yang banyak renggut nyawa. Urutan terakhir terjadi di Alexandria, Mesir, 01 Januari 1999 dengan 11 korban jiwa.

*Trend Positif vs Negatif *

Abaikan dulu _trend_ positif prestasi timnas U-20 Indonesia yang masuk putaran final Piala Asia di Uzbekistan, 01-18 Maret 2023. Pun Piala Dunia U-20/2023 yang mempercayakan Indonesia sebagai tuanrumah dan otomatis peserta, 20 Mei – 11 Juni 2023.

Tragedi kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan, Malang, membalikkan keadaan. Praktis menjadi _trend_ negatif dalam konteks agenda atau _calender event_ bagi insan sepakbola Indonesia. Utamanya, PSSI.

Advertisement

PSSI praktis meratapi, agar FIFA tak serta-merta jatuhkan sanksi. Presiden FIFA, pun menyebut sebagai “sebuah tragedi di luar pemahaman .”

Frasa “di luar pemahaman ” yang memberi arti dalam. Sedalam posisi PSSI yang kadung dangkal, mengaku “tidak memprediksi tragedi Kanjuruhan terjdi “.

Kita, tentu sepakat — bahwa Tragedi Kanjuruhan menjadi preseden buruk persebakbolaan negeri ini. Lagi, harus disebut PSSI. Karenanya, langkah bijak adalah sanksi kepada jajaran PSSI. Mundur, sungguh lebih baik. Bukan semata manifestasi tanggungjawab, tapi sekali gus unjuk jiwa ksatria.

*Gas Air Mata*

Advertisement

Penggunaan gas air mata yang jelas melanggar aturan FIFA. Gas air mata yang ribuan sanak keluarga mencucurkan air mata. Mendadak berduka. Gas air mata yang memicu kepanikan dan sesak nafas hingga kematian. Sesimpel alasan akan “keputusan” Kapolda Jatim, bahwa “gas air mata ditembakan, karena Petugas dipukul suppoorter “. Hendaknya pula bertanggungjawab.

Tak cukup kaitan over kapasitas. Picunya, jelas gas air mata. Tak cukup evaluasi dan investigasi. Malah tak cukup pula pengenaan sanksi: Mundur!. (red /tim)

 

Penulis : Ketua Komunitas Wartawan Senior (KWS) Jawa Barat

Advertisement