Connect with us

NEWS

Mario Dandy

Published

on

Kasus Mario Dandy adalah sekelumit kisah bedebah. Pergaulan salah kaprah. Boleh jadi Mario tak salah. Tak semata fenomena adab serakah.

Mario tak sendiri. Banyak lainnya yang serupa tak sama. Berkendara ugal-ugalan seolah biasa. Bahkan korban tewas, karenanya pun sebatas berita. Aturan (baca: hukum) tak tegak berdiri. Kompromi! Atas nama bertanggungjawab. Nyawa manusia setara sejumlah dana.

Siapa salah? Tak mudah mengatakan. Giliran orangtua jadi tumpahan bersalah. Itu yang mudah. Yang hampir pasti, efek domino menyenggol karier. Kasus Mario berimbas. Menebas pedas. Menyeret sang ayah ke pusaran “konflik” papan atas. Bab harta kekayaan, yang sejatinya — banyak pejabat mestinya pula tak terbebas.

Mario Dandy bukan Mario Kempes. Mario cuma mahasiswa dan dana orangtua. Mario Dandy mendadak ternama di usia 20. Mario Kempes ternama mendunia di usia 19. Pada usia itu, Mario Kempes menjalani tiga musim liga. Klubnya, Cordoba juara Argentina. Mario Kempes jadi salah satu penyerang terbaik Argentina. Mario Dandy jadi penyerang terbaik di jalan raya. Mario Kempes jadi legenda dunia. Membela timnas Argentina juara Piala Dunia 1978. Mario Dandy membela cerita yang berujung penjara.

Advertisement

Membanding dua Mario itu bak bumi dan langit. Tidak apple to apple. Cuma ingin pesan “dangkal” pada serupa Mario lainnya. Tak mudah sejurus, kekayaan orangtua membuka jalan prestasi usia muda. Layaknya menjadi inspirasi dan motivasi. Sebaliknya Mario Kempes melegenda dunia dari minim dana.

Mario Dandy bukan Mario Kempes. Kali ini, bandingkan dengan Muhammad Rafdi Marajabessy. Sama-sama anak pejabat negara. Jomplang, memang. Mario Dandy, anak pejabat Dirjen Pajak. Harta kekayaannya lebih Rp 56 miliar. Muhammad Rafdi, anak Wakil Walikota Tidore Kepulauan. Jangan tanya harta kekayaannya. “Cuma” wakil walikota. Tak punya kewenangan langsung “mengolah” APBD dibanding walikota.

Keseharian Mario Dandy bermobil mewah jeep Wrangler tipe Robicon. Harganya selangit, sekira rp 1,5 miliar. Kuliah di universitas swasta ternama. Pergaulan gemerlap metropolitan. Sarat gaya hedonis. Keseharian Muhammad Rafdi, anak wakil walikota — rela jungkir balik. Dia memilih berprofesi kuli bangunan. Sejatinya ironis, tapi itulah faktanya. Nyata!

Keluarga pejabat yang kerap diidentikkan kenyamanan dan kemewahan. Wakil Walikota Tidore, menempuh jalan berbeda. Pesannya kepada sang anak, justru meminta — “kerja keras untuk raih sukses”. “Jangan memanfaatkan jabatan orangtua yang sejatinya amanah rakyat,” katanya.

Advertisement

Pesan tersirat, “berjuanglah dengan keringat sendiri.” Pesan tersaji di sepanjang zaman. Banyak yang mengingkari. Hanya sedikit yang rela dan mau menjalani. Secuil yang mampu jadi teladan. Kian banyak yang memilih jalan edan.(iW/megga)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Warning: Undefined variable $user_ID in /home/jarrakpos/public_html/wp-content/themes/zox-news/comments.php on line 49

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply